
Oleh: H.Lalu Sirajul Hadi
Perintah Allah kepada orang-orang yang beriman untuk melaksanakan ibadah puasa Ramadhan, memiliki dimensi makna universal. Dimensi universalitas puasa Ramdhan tidak saja pada konteks kajian makna religius (ibadah) dan epistemologis, tetapi hakikatnya melampaui batas-batas multi tranformasi kehidupan. Termasuk dalam perspektif kebangsaan, keummatan dan kepribadian. Basis utama perintah puasa Ramadhan yang termaktub dalam surah Al-Baqarah ayat 183 yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Pada ayat ini, perintah puasa dengan tujuan agar orang yang melaksanakan menjadi orang yang bertaqwa, adalah satu bentuk afirmasi yang diberikan Allah, kepada orang-orang yang beriman, yang senantiasa tunduk dan patuh kepada ketentuan dan perintah Allah. Melaksanakan perintah puasa Ramdhan agar menjadi orang yang bertaqwa atau muttaqin, oleh Allah dijelasakan secara sarih, dan tidak ada ruang pengingkaran di dalamnya.
Menjadi manusia bertaqwa (muttaqin) adalah proses dari pengakuan atas ketundukan seorang hamba kepada rabb-Nya. Pada pribadi “muttaqin”, melekat ciri karakter positif, pribadi yang taat aturan, taat asas, patuh dan taat terhadap segala perintah Allah, dan akan selalu berikhtiar optimal dalam menjauhi segala bentuk larangan-larangan Allah.
Posisi manusia yang bertaqwa atau “muttaqin” dalam perspektif kebangsaan, keummatan dan pada ranah personalitas secara lebih spesipik, adalah sebuah prototype manusia ideal yang dicita-citkan secara eksistensial keberadannya dalam masyarakat. Profile kepribadian dengan integritas yang unggul, memiliki kualitas dan kinerja yang bermutu. Muttaqin adalah mereka yang memiliki kesadaran penghambaan yang holistic kepada Allah di satu sisi, tetapi juga pada di sisi lain, mereka adalah golongan manusia dan masyarakat yang memiliki sensitifitas kemanusiaan yang baik, memiliki etos kerja tinggi, inovatif, kreatif, dedikatif, dan memiliki kepekaan sosial spiritual, kepandaian dalam bertasamuh dan berta’awwun antar sesama. Ciri pribadi muttaqin dalam masyarakat sosial, berbangsa dan bernegara adalah pribadi dan masyarakat yang mencintai kesatuan dan kebersamaan (ukhuwah), menjauhi bentuk konflik dan perpecahan.
Membangun peradaban bangsa dan ummat, melalui hadirnya manusia-manusia yang “muttaqin” pada hakikatnya adalah membangun tentang masa depan peradaban bangsa yang yang dicita-citakan. Oleh sebab itulah, maka status muttaqin merupakan strata personal-sosial dan capain gelar akademik tertinggi pada bidang integritas-spritualitas, yang tentunya sangat tinggi kedudukaknnya dihadapan Allah dan dihadapan sesama manusia.
Salah satu media, proses pendidikan dan institusi penting untuk meraih predikat dan gelar “muttaqqin” adalah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Kurikulum dan kompetensi ibadah puasa Ramadhan, memiliki arah dan fungsi strategis dalam proses pembentukan kepribadian manusia menjadi baik, lahir dan bathin. Hal ini sejalan dengan pandangan M. Quraish Shihab dalam memberikan penafsiran terhadap Surah Al-Baqarah 183. Bahwa Allah mewajibkan puasa sebagai upaya pembersihan jiwa, pengekangan hawa nafsu dan sebagai perwujudan kehendak, Allah melebihkan derajat manusia dari binatang, yang hanya tunduk pada insting dan hawa nafsu. Berpuasa merupakan syariat yang juga telah diwajibkan atas umat terdahulu, maka jangan merasa berat untuk melakukannya. Dengan puasa, Allah menanamkan jiwa ketakwaan, menguatkan daya inderawi dan mendidik jiwa setiap manusia. Kajian tafsir ini memberikan persepektif yang lebih luas, tentang pembeda yang diametral antara binatang dan manusia dalam posisi dan kedudukannya sebagai makhluk Allah. Bahwa kemudian manusia memiliki jiwa yang selalu penting ditempa dan diasah untuk menjadi baik dan mulia, salah satunya melalui media berpuasa.
Salah satu kompetensi mental-spiritual, sebagai dampak positif (luaran) ibadah puasa adalah terbentuknya pribadi yang jujur. Batal atau tidaknya ibadah puasa seseorang, bisa disembunyikan dari penglihatan dan pengetahuan fisik indrawi manusia, tetapi tidak dari pengetahuan Allah. Jujur atau kejujuran adalah tentang sikap hati yang harus dimiliki oleh setiap manusia beriman. Jujur adalah mengatakan kebenaran dan berbuat atas dasar kebanaran, apapun resikonya (honesty is telling the truth no matter what it is; it is being truthful even when admitting the truth could make someone disappointed). Artinya, jujur menjadi modal mental personal yang fundamental, dalam membangun peradaban kebangsaan, keummatan dan kepribadian.
Madrasah Ramadhan dan status lulusan dengan capaian gelar “Muttaqin” bagi mereka yang menjalankan dengan penuh kesabaran, ketundukan dan kebaikan, merupakan bentuk dari bagaimana Allah memberikan banyak peluang kepada hamba-Nya, untuk menjadi orang-orang yang berprestasi, berkualitas dan berkinerja, atas basis nilia-nilai agama sebagai inspirasi utamanya. Kemajuan dan perkembangan global yang tengah dihadapi manusai diseluruh dunia saat ini, termasuk ragam dan jenis musibah yang mendera manusia di muka bumi, pada hakikatya hanya mampu dihadapi oleh orang-orang yang menjaga pikiran positifnya, kepada Zat yang Maha Menciptakan, mampu bersabar, dan memiliki inovasi dan kreatifitas untuk menjadikan setiap keadaan dan masalah, bahwa di dalamnya ada hikmah dan pesan-pesan universal penting yang perlu direnungkan dan dipikirkan, olah akal dan rasionalitas manusia secar kritis dan etis (reflektif-kontemplatif). Gambaran atas tife dan kompetensi-kompetensi itu, melekat kepada orang-orang yang mengerti dan memahami cara beragama yang baik, memahami kebesaran dan kekuasaan Allah yang tidak terbatas, dan itulah bagian dari indicator kunci sifat orang-orang yang bertaqwa (muttaqin).
Prototype pribadi “muttaqin” pada hakikatnya adalah tujuan akhir dari proses aktivitas penghambaan manusia kepada Allah. Mendapatkan status dan predikat muttaqin dari Allah, adalah target dari keseluruhan jenis target. Manusia yang memiliki visi penghambaan yang berkualitas, akan menjadikan profile muttaqin sebagaia kontruksi sifat dan prilaku yang ideal, karena semua bentuk pengalaman belajar dalam kehidupannya, basisnya adalah tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Dalam konteks ini Ali bin Abi Thalib radhiyallu anhu, memberikan penjelasan tentang arti taqwa sebagai khaufu minal jalil (rasa takut dari Allah yang Maha Mulia), amalu bittanzil (mengerjakan apa yang diturkan Allah dalam Al-Qur’an), qanaatul bil galil (puas terhadap yang diberikan Allah), dan yang terakhir adalah wal istiadaadu liyamuril rakhiila (mempersipakan diri untuk akhirat).
Buah manis taqwa yang diperoleh oleh orang-orang yang mendapatkan status atau gelar “muttaqin” pun, telah banyak dijelaskan Allah dalam Al-Quran, salah satunya terdapat pada QS. Al-Anfal:29, bahwa buah taqwa adalah dapat menyebabkan seorang hamba Allah, dapat mengetahui dan membedakan antara yang haq dan bathil. Madrasah Ramdahan yang dijalani oleh orang-orang Islam yang beriman, pada hakikatnya adalah ruang dan waktu yang terlalu mahal untuk disia-siakan. Artinya, pelaksananya tidak hanya untuk sekedar memenuhi dan mencapai standar minimal, menahan lapar dahaga dan hanya dari perkara yang membatalkan, tetapi visi dan program puasa Ramadhan yang dapat mengantarkan semua kita menjadi alumni dan lulusan penyandang gelar “muttaqin” yang summa cum laude.
Wallahu’alam.